Sabtu, 24 Desember 2011

Kasta di Bali

Sistem Catur Wangsa yang kini lebih dikenal dengan nama “Kasta”, dan “Gelar” yang ada dalam masyarakat Bali itu adalah tradisi yang sudah ada sejak dahulu. Berkenaan dengan hal itu sebaiknya kita simak pendapat dari  Dr. W. Durant yang menyatakan bahwa kata “Kasta” tidak berasal dan bahasa Sansekerta (India) tetapi dan bahasa Portugis “Casta” yang diambil dan bahasa Latin “Castus” berarti suci (Prof. DR. Tjok Rai Sudharta MA, Slok. Hal 204 tahun 2003). Timbul pertanyaan, lalu Catur Wangsa dan gelar itu apa artinya? Catur berarti empat, Wangsa berarti keturunan raja; keluarga; bangsa; warga. Jadi Catur Wangsa artinya empat jalinan keluar; empat jalinan warga (Catur Warga). Kemudian kata gelar yang dimaksudkari di sini bukan berarti gelar kesarjanaan yang diperoleh setelah menamatkan pada tingkat pendidikan formal. Melainkan kata gelar yang dipandang dan sudut pandang tradisi atau budaya Bali, gelar itu mempunyai makna, nama (nama depan); sebutan kehormatan; julukan; identitas keturunan / identitas keluarga. Maka jika disimpulkan kata Catur Wangsa dan kata gelar itu maknanya adalah empat jalinan keluarga atau Catur Warga yang masing-masing warga memiliki sebuah identitas “Nama Keluarga”, yang merupakan satu-kesatuan yang utuh yang saling membutuhkan dan saling melengkapi serta tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang  lain. Persoalan “Kasta” itu sudah sering diwacanakan/dipolemikan terutama oleh kalangan elitis tertentu menuding, memarginalkan wangsa-wangsa tertentu sebagai biang kesalah kaprahan “Kasta”, rasanya sudah agak menegangkan pada akhir-akhir ini. Sementara dilain pihak ada pemikiran untuk sebaiknya menghapuskan sistem “Kasta” itu sendiri, dan ada pula yang menyatakani biarkan saja orang memakai nama apa saja. Walaupun bapaknya bukan Gusti mau memberi nama Gusti anaknya, biarkan saja, toh tidak ada sanksi hukumnya, karena pemberian nama tersebut dilindungi oleh HAM.
Pengaruh kasta sudah merasuk hingga ke tatanan upacara adat dan agama. contohnya adalah pernikahan. Wanita dari golongan puri dan brahmana sangat-sangat dilarang untuk menikah dengan pria dari golongan jaba. kalaupun itu sampai terjadi, si wanita biasanya akan dikeluarkan dari keluarga alias tidak diakui oleh keluarganya. Namun, jika pria dari golongan puri menikah dengan wanita jaba,  si wanita harus siap diperlakukan tidak setara. misalnya pada waktu upacara pernikahan, wanita yang kastanya lebih rendah mesti rela diupacarai tidak sejajar. biasanya banten (sarana upacara) untuk mempelai wanita diletakkan terpisah bahkan di beberapa daerah malah diletakkan di bawah. di beberapa daerah di bali, si wanita mesti rela "melayani" ipar-iparnya yang mempunyai kasta yg lebih tinggi.
Mengenai diskriminasi dalam upacara pernikahan, sampai dengan saat ini masih sangat-sangat sulit dihilangkan. tetapi ada bentuk perlawanan unik terhadap sistem pernikahan beda kasta. Ada orang tua dari kasta yang lebih tinggi punya putri yang berpacaran dengan pria dari kasta yang lebih rendah. Ketika sang pria mengutarakan niatnya untuk menikahi putri mereka, orangtua yang wanita berpesan, pada dasarnya dia tidak keberatan tapi karena kastanya berbeda, lebih baik kawin lari saja. Dengan kawin lari, orang tua akan terlihat seperti tidak tahu dan dia tidak pernah "memberikan" putrinya untuk dinikahi. Dengan demikian orang tuanya tidak akan dipersalahkan oleh adat karena "memberikan" anaknya ke kasta yang lebih rendah. bagaimana dengan wanita yang berkasta lebih rendah dan pria dengan kasta lebih tinggi. Bentuk diskriminasi dalam upacara mungkin belum bisa dihilangkan, tapi dalam kehidupan berumah tangga sudah banyak sekali yang dipelakukan setara sebagaimana layaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar